tag:blogger.com,1999:blog-55881713337905900812024-03-18T21:16:26.058-07:00Cerita Seru - Cerita Panas - Cerita Dewasacerita seru, cerita panas, cerita dewasa, cerita selingkuh, cerita bercinta, cerita senggama, cerita tante girang, cerita abg bercinta, cerita tante bercinta, cerita sex, cerita hot, cerita 17tahun, cerita 17thUnknownnoreply@blogger.comBlogger3125tag:blogger.com,1999:blog-5588171333790590081.post-90619836065569830812009-12-19T11:37:00.001-08:002013-02-17T09:15:13.312-08:00Pesona Erna, ABG Sexy yang tajir...Berawal dari facebook temanku yang memang terkenal ganteng dan playboy di kantorku. Hingga tak salah kalau teman dia di FB hampir menyentuh angka 4000, jumlah yang sungguh fantastis dibandingkan dengan FB ku yang hanya memiliki teman 200 saja.<br />
<br />
Suatu hari saat sedang istirahat siang, kulihat agus sedang asyik chating lewat FB hingga dia lupa makan, sedangkan aku memang lebih sering membawa bungkusan nasi dari Ibu di rumah hingga istirahat siang banyak kuhabiskan di kantor.<br />
<br />
"Dia lagi berantem sama cowoknya" ujar agus saat aku tanya chating sama siapa. "Ni cewek ABG kuliah di fakultas keguruan.... sexy juga...." lanjut si agus.<br />
<br />
<br />
<a name='more'></a><br /><br />
<br />
Aku acuh saja karena memang keseharian si agus selalu mengejar cewek dari satu FB ke FB yang lain. Hingga kini konon dia pernah berkencan dengan hampir puluhan wanita dari situs pertemanan FB. Mulai dari tante - tante, ibu rumah tangga sampai ABG diembat juga sama dia.<br />
<br />
Iseng aku tanya si agus, "Account nya apa gus.. aku boleh add nggak ?" tanyaku iseng.<br />
<br />
Si agus mengangguk sambil menyebutkan alamat email si cewek ABG itu. Lalu aku search dan kudapati acc FB cewek itu yang ternyata bernama Erna. Sejurus kemudian dia pun meng-confirm friend requestku.<br />
<br />
"Thanks for being my friend" tulisan perdanaku di wall dia. Kutunggu semenit, dua menit hingga 15 menit berlalu, dia tidak merespon comment ku di wall dia.<br />
<br />
Sampai aku dikejutkan dengan tawa si agus.. "Kamu dibilang tua..." celetuk si agus yang masih asyik chat sama Erna.<br />
<br />
Aku pun sedikit tersinggung dengan perkataan Erna tentang aku di chatingan sama si agus. Hingga aku kirim pesan lewat FB "Sorry, remove aja aku kalau aku ketuaan jadi teman kamu"<br />
<br />
Tidak sampai satu menit dia pun membalas "Maaf, bukan maksudku begitu.. pasti si agus yang bilang ke kamu ya... sekali lagi maafin aku, bukan maksudku begitu"<br />
<br />
Aku pun tak membalas lagi message dia karena aku sedang kesal dengan cewek ini. Sampai akhirnya si agus nyeletuk "Sialan dia offline gara - gara aku bilang dia ngomong kamu tua... ". Rupanya si Erna kesel juga chatingan dia dengan agus bocor ke aku hingga Erna memutuskan untuk offline.<br />
<br />
Memang aku akui kalau umurku menyentuh angka 30, angka yang tergolong tua bagi seorang cowok membujang seperti aku. Tapi apa boleh buat, kalau Erna cuma mau berteman dengan orang yang umurnya dibawah 25 tahun.<br />
<br />
Keesokan harinya aku terkejut mendapati hampir ada 5 message di inbox ku yang semuanya dari Erna. Intinya Erna merasa tidak enak hati dan memohon maaf karena sudah membuat aku tersinggung dengan perkataannya yang menyebut aku ketuaan.<br />
<br />
Sampai sampai dia memelas meminta aku menghubungi ponselnya agar bisa meminta maaf secara langsung.<br />
<br />
Selang beberapa hari kemudian aku dikejutkan dengan puluhan tulisan bernada minta maaf di wall ku dan tak kalah banyak message yang masuk ke inbox ku.<br />
<br />
Terpaksa aku hapus satu satu comment comment itu, takut kebaca sama cewekku yang ada di kota lain. Demi mengamankan wall ku, aku pun terpaksa memberikan no ponselku kepada Erna.<br />
<br />
Tidak ada 5 menit aku membalas pesan dia menyertakan no ponselku, ponselku pun berdering dari nomor hp yg tak kukenal. Aku menduga ini pasti erna, hingga terpaksa aku pergi ke pantry untuk menerima telepon dari no aneh ini.<br />
<br />
Benar juga rupanya "Maaf yang mas... " desah memelas seorang cewek diseberang. "Bukan maksudku menghina atau gimana mas..." lanjut dia.<br />
<br />
"Nggak apa apa mbak, santai aja.." sahutku sekenanya sambil mematikan ponselku. Jujur waktu itu aku masih kesal dan sedikit memaki.. sombong sekali cewek itu.<br />
<br />
Tut tuutt.. tut... tuutt.. suara khas bila ada sms masuk terdengar dari ponselku.<br />
Rupanya erna mengirimkan pesan spt ini "Sekali lagi mohon maaf mas, bukan maksudku menyinggung perasaanmu, kalau boleh aku mau ketemu mas, aku mau memohon maaf secara langsung, bila perlu aku bersedia mencium kakimu demi sekeping maaf"<br />
<br />
Aku pun rada terkejut, aneh sekali cewek ini. Masalah sepele kok sampai sedemikian serius nya pikirku.<br />
<br />
Yah.. kembali demi memenuhi keinginan dia, aku menyetujui bertemu secara langsung sepulang kerja di sebuah cafe yang cukup terkenal di kota ini.<br />
<br />
Singkat cerita tepat jam 18.00 sepulang kerja aku menggeber motorku ke cafe yang kita sepakati. Sesampai disana aku cuma menemukan beberapa orang yang sedang pacaran, namun ada satu meja berisi seorang cewek yang sedang menyendiri sambil ditemani kue tart ulang tahun. <br />
<br />
Cewek ini cukup sexy dengan kaos putih ketat dia, umurnya sekitar 20 tahunan, aku tak tahu pasti apakah dia erna atau bukan, tapi feeling ku bilang sih itu bukan erna karena foto yang aku lihat di profile FB dia kurang jelas.<br />
<br />
Celingak celinguk sebentar, aku pun lantas memesan kopi sambil menunggu telepon dari cewek ini. Tepat dugaanku saat aku menyelesaikan pembayaran, ponselku berbunyi pertanda ada sms masuk.<br />
<br />
"Aku pake kaos putih sudah di cafe duduk di pojok sendiri.." begitu bunyi sms dari erna.<br />
<br />
owww la la la... rupanya cewek yang tadi aku kagumi itu adalah si erna. Dengan berjalan gontai aku hampiri erna di mejanya.<br />
<br />
Rupanya erna menunggu lebih dari setengah jam, itu terlihat dari minumannya yang hampir habis.<br />
<br />
"Mas Rudy ya..." sapa erna sambil beridiri menjulurkan tangan saat aku sudah berdiri didepan meja dia.<br />
<br />
"iya..!!!!" sahutku pendek sambil berjabat tangan lalu duduk di depan dia.<br />
<br />
Selanjutnya kami mulai ngobrol yang intinya erna meminta maaf sedalam - dalam atas ucapan dia. Aku pun menanggapi dengan dingin sampai erna membuat kotak kue tart lalu menyalakan lilin dengan angka 30.<br />
<br />
"Selamat Ulang Tahun ya mas...." jabatnya sambil berusaha memelukku. Aku pun kagok dengan tingkah dia. Jujur aku pun baru sadar kalau hari ini adalah ulang tahunku yang ke 30.<br />
<br />
Seperti layaknya orang ulang tahun, dia pun mencium pipi kiri dan pipi kanan. Entah getar apa yang terasa, aku merasa ada sentuhan yang terdalam dari pelukan dan ciuman dia walau erna baru pertama kali berjumpa.<br />
<br />
Aku pun masih terdiam karena kaget dan tak menyangka erna sampai berbuat spt itu demi sebuah permintaan maaf. Didalam kegalauan hatiku erna mengagetkan aku dengan satu pertanyaan "Mas ultah, mau aku kasih hadiah apa...?"<br />
<br />
Mulutku masih rapat terkunci tanpa bisa menjawab. "Kenapa mas....!!" desak dia. Dalam hati aku berpikir, Sinta cewek ku saja tidak pernah berbuat spt ini saat aku ultah. Antara gembira dan kesel masih berkecamuk dalam hatiku.<br />
<br />
Berhubung cafe ini hanya menyediakan minum dan bakery saja, erna menawarkan traktiran makan malam di sebuah restoran yang tak jauh letaknya dari cafe ini.<br />
<br />
Rupanya erna saat itu datang memakai mobil dan diantar sopirnya, erna pun meminta sopirnya mengendarai motorku, sedangkan aku bersama dia dalam mobil sedan mewah miliknya.<br />
<br />
Aku seperti sapi yang dicocok hidung nya menghadapi erna, aku tak kuasa menolak apa pinta dia hingga aku pun menurut saja saat aku diajak makan di steak house.<br />
<br />
Singkat cerita kami sudah menyelesaikan makan malam dengan menu spesial steak import yang tak pernah aku makan sebelumnya.<br />
<br />
Kami pun kembali ke rumah erna sambil ngobrol lebih akrab selama perjalanan. Sampailah kami di sebuah rumah mewah besar di pinggir pantai. Rupanya erna anak orang kaya yang memiliki rumah bak villa dipinggir pantai.<br />
<br />
Sebelum berpisah erna pun mendekati ku yang masih berdiri disamping mobil mewahnya. Erna kembali memelukku sambil berbisik "Maafin aku ya mas..."<br />
<br />
Jujur aku menjadi bergairah dengan sentuhan toket erna yang menonjol sexy dibalik kaos ketatnya.<br />
<br />
Aku pun membalas pelukan dia sambil berbisik "Ga pa pa.. santai aja..."<br />
Iseng aku dekati bibir ku ke bibir dia, rupanya erna membiarkan aku mengecup bibir dia. Merasa diberi angin, aku pun semakin mencium bibir erna lebih keras.<br />
<br />
Dia pun merespon dengan ciuman yang hot serta pelukan yang lebih erat, aku pun semakin panas dan terangsang, seolah tak mempedulikan kalau kami sedang berada di garase.<br />
<br />
Erna pun berdesah saat aku mencium dia lebih kasar sambil meremas remas pantat dia dengan kedua tanganku.<br />
<br />
Erna mungkin juga sudah horny lalu dia menaikan salah satu kakinya hingga memek dia yang terbungkus cd putih tampak jelas. Memek yang masih terbungkus cd itu aku tempelkan ke kontolku yang saat itu masih mengenakan seragam kantor.<br />
<br />
Tak sadar aku sudah menyandarkan erna di mobil sambil mengangkat salah satu kakinya dengan tanganku, kugoyang goyang kan memek dia dengan pinggangku yang membuat dia berdesah lebih erotis.<br />
<br />
Erna berusaha melepas resletingku saat aku masih menikmati ciuman erotis bibirnya. Erna berusaha mengeluarkan lolok ku dari balik relesting, hingga lolok yang tegang dan keras menjulur keluar dari balik celana ku.<br />
<br />
Melihat lolok ku sudah mejulur tegang keluar, erna menyibakan celana dalam dalam nya hingga lolok ku dengan mulus meluncur memasuki liat memek dia.<br />
<br />
Erna berdesah semakin erotis dan pelukan semakin erat. Aku pun menghujamkan lolok ku kedalam memek dia. erna pun berusaha mengimbangi dengan gerakan - gerakan erotis pantat dia.<br />
<br />
Erna rupanya sangat menikmati kontolku, bibir dia sampai melongo dengan mata sedikit mendelik terutama saat aku hujamkan lolokku.<br />
<br />
Tak berselang 15 menit kemudian erna seperti kesetanan bergoyang. lalu berdesah lebih kencang sambil mencakar punggungku. Aku pun tambah teransang dan mencapai puncaknya sedetik kemudian.<br />
<br />
Kusemprotkan carian sperma hangat dari kontolku pertanda aku mencapai puncak gairah ini.<br />
<br />
Mungkin ada sekitar 5 menit kami masih termangu berpelukan erat tanpa mampu berkata kata. Kami berdua tak menyangka dan sadar apa yang telah terjadi tadi.<br />
<br />
Yang kami rasakan, kami merasa bahagia bisa berpelukan erat mesra seolah - olah kami adalah sepasang kekasih yang berpisah ribuan tahun lalu bertemu lagi.<br />
<br />
Ada rasa yang berbeda saat aku bersama erna, entah inikan yang namanya cinta. Yang jelas kami berdua mungkin merasakan kejenuhan dengan pasangan masing - masing.<br />
<br />
<br />Unknownnoreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-5588171333790590081.post-47911542707521108462008-09-11T07:19:00.000-07:002008-09-11T07:25:52.361-07:00Demi Karir, Kukorbankan Semua Miliku<p>Dengan satu tangan dia pun begitu cepat melepas <a href="http://fridabali.com">BH</a> ku dan kini payudaraku yang sedikit montok terlihat jelas. Seperti kesetanan Pak Agus kemudian memainkan <a href="http://fridabali.com">puting</a>ku dengan mulut dan lidahnya.</p> <p>Aku semakin merinding dan merasakan geli di sekujur tubuhku, dengan refleks aku jambak rambut Pak Agus dengan kedua tanganku.</p> <p>Saat Pak Agus dengan liar memainkan putingku, tangan kiri dia pun mulai meraba - raba rok ku dan mencoba meraih <a href="http://fridabali.com">vagina</a>ku dari baliknya.</p> <p>Refleks aku menggeliat dan menjepit tangan Pak Agus dengan kedua pahaku. Pak Agus mencoba meraih vaginaku, akupun refleks meronta.</p><p>Read <a href="http://fridabali.com/2008/09/03/demi-karir-ku-korbankan-semua-miliku-2/">More</a><br /></p><p><br /></p>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5588171333790590081.post-46674991353825520962008-01-23T08:22:00.000-08:002008-09-11T07:18:18.408-07:00Selingkuh dengan istri tetanngaku<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://fridabali.com"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiZkckMhFVyCBcee0Vvb5BmKEpZBAgtP3qjezsfwUJ40z8iJkW1XMb-pm_R6QjSP6AgCTcXdlmOuT2kEwCwPtUIt23-78pBP2HtQv3l6BOvSJveJkpTUda6csFJgGqr_3yHWhEHKh-ZEi4/s400/531370968l.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5200618287758574194" border="0" /></a><br /><p>Sudah bertahun-tahun kegiatan ronda malam di lingkungan tempat tinggalku berjalan dengan baik. Setiap malam ada satu grup terdiri dari tiga orang. Sebagai anak belia yang sudah bekerja aku dapat giliran ronda pada malam minggu.</p> <p>Pada suatu malam minggu aku giliran ronda. Tetapi sampai pukul 23.00 dua orang temanku tidak muncul di pos perondaan. Aku tidak peduli mau datang apa tidak, karena aku maklum tugas ronda adalah sukarela, sehingga tidak baik untuk dipaksa-paksa. Biarlah aku ronda sendiri tidak ada masalah.</p> <p>Karena memang belum mengantuk, aku jalan-jalan mengontrol kampung. Biasanya kami mengelilingi rumah-rumah penduduk. Pada waktu sampai di samping rumah Pak Tadi, aku melihat kaca nako yang belum tertutup. Aku mendekati untuk melihat apakah kaca nako itu kelupaan ditutup atau ada orang jahat yang membukanya. Dengan hati-hati kudekati, tetapi ternyata kain korden tertutup rapi.<br /></p><p>Kupikir kemarin sore pasti lupa menutup kaca nako, tetapi langsung menutup kain kordennya saja. Mendadak aku mendengar suara aneh, seperti desahan seseorang. Kupasang telinga baik-baik, ternyata suara itu datang dari dalam kamar. Kudekati pelan-pelan, dan darahku berdesir, ketika ternyata itu suara orang <a href="http://fridabali.com">bersetubuh</a>. Nampaknya ini kamar tidur Pak Tadi dan istrinya. Aku lebih mendekat lagi, suaranya dengusan nafas yang memburu dan gemerisik dan goyangan tempat tidur lebih jelas terdengar. “Ssshh… hhemm… uughh… ugghh, terdengar suara dengusan dan suara orang seperti menahan sesuatu. Jelas itu suara Bu Tadi yang ditindih suaminya. Terdengar pula bunyi kecepak-kecepok, nampaknya penis Pak Tadi sedang mengocok liang <a href="http://fridabali.com">vagina</a> Bu Tadi.<br /></p><p>Aduuh, darahku naik ke kepala, penisku sudah berdiri keras seperti kayu. Aku betul-betul iri membayangkan Pak Tadi menggumuli istrinya. Alangkah nikmatnya <a href="http://fridabali.com">menyetubuhi</a> Bu Tadi yang cantik dan bahenol itu.</p><p> <span id="more-945"></span>“Oohh, sshh buuu, aku mau keluar, sshh…. ssshh..” terdengar suara Pak Tadi tersengal-sengal. Suara kecepak-kecepok makin cepat, dan kemudian berhenti. Nampaknya Pak Tadi sudah ejakulasi dan pasti penisnya dibenamkan dalam-dalam ke dalam vagina Bu Tadi. Selesailah sudah persetubuhan itu, aku pelan-pelan meninggalkan tempat itu dengan kepala berdenyut-denyut dan penis yang kemeng karena tegang dari tadi.</p> <p>Sejak malam itu, aku jadi sering mengendap-endap mengintip kegiatan suami-istri itu di tempat tidurnya. Walaupun nako tidak terbuka lagi, namun suaranya masih jelas terdengar dari sela-sela kaca nako yang tidak rapat benar. Aku jadi seperti detektip partikelir yang mengamati kegiatan mereka di sore hari. Biasanya pukul 21.00 mereka masih melihat siaran TV, dan sesudah itu mereka mematikan lampu dan masuk ke kamar tidurnya. Aku mulai melihat situasi apakah aman untuk mengintip mereka. Apabila aman, aku akan mendekati kamar mereka. Kadang-kadang mereka hanya bercakap-cakap sebentar, terdengar bunyi gemerisik (barangkali memasang selimut), lalu sepi. Pasti mereka terus tidur. Tetapi apabila mereka masuk kamar, bercakap-cakap, terdengar ketawa-ketawa kecil mereka, jeritan lirih Bu Tadi yang kegelian (barangkali dia digelitik, dicubit atau diremas buah dadanya oleh Pak Tadi), dapat dipastikan akan diteruskan dengan <a href="http://fridabali.com">persetubuhan</a>. Dan aku pasti mendengarkan sampai selesai. Rasanya seperti kecanduan dengan suara-suara Pak Tadi dan khususnya suara Bu Tadi yang keenakan disetubuhi suaminya.</p> <p>Hari-hari selanjutnya berjalan seperti biasa. Apabila aku bertemu Bu Tadi juga biasa-biasa saja, namun tidak dapat dipungkiri, aku jadi jatuh cinta sama istri Pak Tadi itu. Orangnya memang cantik, dan badannya padat berisi sesuai dengan seleraku. Khususnya pantat dan buah dadanya yang besar dan bagus. Aku menyadari bahwa hal itu tidak akan mungkin, karena Bu tadi istri orang. Kalau aku berani menggoda Bu Tadi pasti jadi masalah besar di kampungku. Bisa-bisa aku dipukuli atau diusir dari kampungku. Tetapi nasib orang tidak ada yang tahu. Ternyata aku akhirnya dapat menikmati keindahan tubuh Bu Tadi.</p> <p>Pada suatu hari aku mendengar Pak Tadi opname di rumah sakit, katanya operasi usus buntu. Sebagai tetangga dan masih bujangan aku banyak waktu untuk menengoknya di rumah sakit. Dan yang penting aku mencoba membangun hubungan yang lebih akrab dengan Bu Tadi. Pada suatu sore, aku menengok di rumah sakit bersamaan dengan adiknya Pak Tadi. Sore itu, mereka sepakat Bu Tadi akan digantikan adiknya menunggu di rumah sakit, karena Bu Tadi sudah beberapa hari tidak pulang. Aku menawarkan diri untuk pulang bersamaku. Mereka setuju saja dan malah berterima kasih. Terus terang kami sudah menjalin hubungan lebih akrab dengan keluarga itu.</p> <p>Sehabis mahgrib aku bersama Bu Tadi pulang. Dalam mobilku kami mulai mengobrol, mengenai sakitnya Pak Tadi. Katanya seminggu lagi sudah boleh pulang. Aku mulai mencoba untuk berbicara lebih dekat lagi, atau katakanlah lebih kurang ajar. Inikan kesempatan bagus sekali untuk mendekatai Bu Tadi.</p><p> “Bu, maaf yaa. ngomong-ngomong Bu Tadi sudah berkeluarga sekitar 3 tahun kok belum diberi momongan yaa”, kataku hati-hati.<br />“Ya, itulah Dik Budi. Kami kan hanya lakoni. Barangkali Tuhan belum mengizinkan”, jawab Bu Tadi.<br />“Tapi anu tho bu… anuu.. bikinnya khan jalan terus.” godaku.<br />“Ooh apa, ooh. kalau itu sih iiiya Dik Budi” jawab Bu Tadi agak kikuk. Sebenarnya kan aku tahu, mereka setiap minggunya minmal 2 kali <a href="http://fridabali.com">bersetubuh</a> dan terbayang kembali desahan Bu Tadi yang keenakan. Darahku semakin berdesir-desir. Aku semakin nekad saja.</p><p> “Tapi, kok belum berhasil juga yaa bu?” lanjutku.<br />“Ya, itulah, kami berusaha terus. Tapi ngomong-ngomong kapan Dik Budi kimpoi. Sudah kerja, sudah punya mobil, cakep lagi. Cepetan dong. Nanti keburu tua lhoo”, kata Bu Tadi.<br />“Eeh, benar nih Bu Tadi. Aku cakep niih. Ah kebetulan, tolong carikan aku Bu. Tolong carikan yang kayak Ibu Tadi ini lhoo”, kataku menggodanya.<br />“Lho, kok hanya kayak saya. Yang lain yang lebih cakep kan banyak. Saya khan sudah tua, jelek lagi”, katanya sambil ketawa.<br />Aku harus dapat memanfaatkan situasi. Harus, Bu tadi harus aku dapatkan.<br />“Eeh, Bu Tadi. Kita kan nggak usah buru-buru nih. Di rumah Bu Tadi juga kosong. Kita cari makan dulu yaa. Mauu yaa bu, mau yaa”, ajakku dengan penuh kekhawatiran jangan-jangan dia menolak.<br />“Tapi nanti kemaleman lo Dik”, jawabnya.<br />“Aah, baru jam tujuh. Mau ya Buu”, aku sedikit memaksa.<br />“Yaa gimana yaa… ya deh terserah Dik Budi. Tapi nggak malam-malam lho.” Bu Tadi setuju. Batinku bersorak.</p> <p>Kami berehenti di warung bakmi yang terkenal. Sambil makan kami terus mengobrol. Jeratku semakin aku persempit.<br />“Eeh, aku benar-benar tolong dicarikan istri yang kayak Bu Tadi dong Bu. benar nih. Soalnya begini bu, tapii eeh nanti Bu Tadi marah sama saya. Nggak usaah aku katakan saja deh”, kubuat Bu Tadi penasaran.<br />“Emangnya kenapa siih.” Bu tadi memandangku penuh tanda tanya.<br />“Tapi janji nggak marah lho.” kataku memancing. Dia mengangguk kecil.<br />“Anu bu… tapi janji tidak marah lho yaa.”<br />“Bu Tadi terus terang aku terobsesi punya istri seperti Bu tadi. Aku benar-benar bingung dan seperti orang gila kalau memikirkan Bu Tadi. Aku menyadari ini nggak betul. Bu Tadi kan istri tetanggaku yang harus aku hormati. Aduuh, maaf, maaf sekali bu. aku sudah kurang ajar sekali”, kataku menghiba. Bu Tadi melongo, memandangiku. sendoknya tidak terasa jatuh di piring. Bunyinya mengagetkan dia, dia tersipu-sipu, tidak berani memandangiku lagi.</p> <p>Sampai selesai kami jadi berdiam-diaman. Kami berangkat pulang. Dalam mobil aku berpikir, ini sudah telanjur basah. Katanya laki-laki harus nekad untuk menaklukkan wanita. Nekad kupegang tangannya dengan tangan kiriku, sementara tangan kananku memegang setir. Di luar dugaanku, Bu Tadi balas meremas tanganku. Batinku bersorak. Aku tersenyum penuh kemenangan. Tidak ada kata-kata, batin kami, perasaan kami telah bertaut. Pikiranku melambung, melayang-layang. Mendadak ada sepeda motor menyalib mobilku. Aku kaget.<br />“Awaas! hati-hati!” Bu Tadi menjerit kaget.<br />“Aduh nyalib kok nekad amat siih”, gerutuku.<br />“Makanya kalau nyetir jangan macam-macam”, kata Bu tadi. Kami tertawa. Kami tidak membisu lagi, kami ngomong, ngomong apa saja. Kebekuan cair sudah. Sampai di rumah aku hanya sampai pintu masuk, aku lalu pamit pulang.</p> <p>Di rumah aku mencoba untuk tidur. Tidak bisa. Nonton siaran TV, tidak nyaman juga. Aku terus membayangkan Bu Tadi yang sekarang sendirian, hanya ditemani pembantunya yang tua di kamar belakang. Ada dorongan sangat kuat untuk mendatangi rumah Bu Tadi. Berani nggaak, berani nggak. Mengapa nggak berani. Entah setan mana yang mendorongku, tahu-tahu aku sudah keluar rumah. Aku mendatangi kamar Bu Tadi. Dengan berdebar-debar, aku ketok pelan-pelan kaca nakonya, “Buu Tadi, aku Budi”, kataku lirih. Terdengar gemerisik tempat tidur, lalu sepi. Mungkin Bu Tadi bangun dan takut. Bisa juga mengira aku maling. “Aku Budi”, kataku lirih. Terdengar gemerisik. Kain korden terbuka sedikit. Nako terbuka sedikit. “Lewat belakang!” kata Bu Tadi. Aku menuju ke belakang ke pintu dapur. Pintu terbuka, aku masuk, pintu tertutup kembali. Aku nggak tahan lagi, Bu Tadi aku peluk erat-erat, kuciumi pipinya, hidungnya, bibirnya dengan lembut dan <a href="http://fridabali.com">mesra</a>, penuh kerinduan. Bu Tadi membalas memelukku, wajahnya disusupkan ke dadaku.</p> <p>“Aku nggak bisa tidur”, bisikku.<br />“Aku juga”, katanya sambil memelukku erat-erat.<br />Dia melepaskan pelukannya. Aku dibimbingnya masuk ke kamar tidurnya. Kami berpelukan lagi, berciuman lagi dengan lebih bernafsu. “Buu, aku kangen bangeeet. Aku kangen”, bisikku sambil terus menciumi dan membelai punggungnya. Nafsu kami semakin menggelora. Aku ditariknya ke tempat tidur. Bu Tadi membaringkan dirinya. Tanganku menyusup ke <a href="http://fridabali.com">buah dadanya</a> yang besar dan empuk, aduuh nikmat sekali, kuelus buah dadanya dengan lembut, kuremas pelan-pelan. Bu Tadi menyingkapkan dasternya ke atas, dia tidak memakai BH. Aduh buah dadanya kelihatan putih dan menggung. Aku nggak tahan lagi, kuciumi, kukulum pentilnya, kubenamkan wajahku di kedua buah dadanya, sampai aku nggak bisa bernapas. Sementara tanganku merogoh kemaluannya yang berbulu tebal. Celana dalamnya kupelorotkan, dan Bu Tadi meneruskan ke bawah sampai terlepas dari kakinya. Dengan sigap aku melepaskan sarung dan celana dalamku. Penisku langsung tegang tegak menantang. Bu Tadi segera menggenggamnya dan dikocok-kocok pelan dari ujung penisku ke pangkal pahaku. Aduuh, rasanya geli dan nikmat sekali. Aku sudah nggak sabar lagi. Aku naiki tubuh Bu Tadi, bertelekan pada sikut dan dengkulku.</p> <p>Kaki Bu Tadi dikangkangkannya lebar-lebar, penisku dibimbingnya masuk ke liang vaginanya yang sudah basah. Digesek-gesekannya di bibir kemaluannya, makin lama semakin basah, kepala penisku masuk, semakin dalam, semakin… dan akhirnya blees, masuk semuanya ke dalam kemaluan Bu Tadi. Aku turun-naik pelan-pelan dengan teratur. Aduuh, nikmat sekali. Penisku dijepit kemaluan Bu Tadi yang sempit dan licin. Makin cepat kucoblos, keluar-masuk, turun-naik dengan penuh nafsu. “Aduuh, Dik Budi, Dik Budii… enaak sekali, yang cepaat.. teruus”, bisik Bu Tadi sambil mendesis-desis. Kupercepat lagi. Suaranya vagina Bu Tadi kecepak-kecepok, menambah semangatku. “Dik Budiii aku mau muncaak… muncaak, teruus… teruus”, Aku juga sudah mau keluar. Aku percepat, dan penisku merasa akan keluar. Kubenamkan dalam-dalam ke dalam vagina Bu Tadi sampai amblaas. Pangkal penisku berdenyut-denyut, spermaku muncrat-muncrat di dalam vagina Bu Tadi. Kami berangkulan kuat-kuat, napas kami berhenti. Saking nikmatnya dalam beberapa detik nyawaku melayang entah kemana. Selesailah sudah. Kerinduanku tercurah sudah, aku merasa lemas sekali tetapi puas sekali.</p> <p>Kucabut penisku, dan berbaring di sisinya. Kami berpelukan, mengatur napas kami. Tiada kata-kata yang terucapkan, ciuman dan belaian kami yang berbicara.<br />“Dik Budi, aku curiga, salah satu dari kami mandul. Kalau aku subur, aku harap aku bisa hamil dari spermamu. Nanti kalau jadi aku kasih tahu. Yang tahu bapaknya anakku kan hanya aku sendiri kan. Dengan siapa aku membuat anak”, katanya sambil mencubitku. Malam itu pertama kali aku menyetubuhi Bu Tadi tetanggaku. Beberapa kali kami berhubungan sampai aku kimpoi dengan wanita lain. Bu Tadi walaupun cemburu tapi dapat memakluminya.</p> <p>Keluarga Pak tadi sampai saat ini hanya mempunyai satu anak perempuan yang cantik. Apabila di kedepankan, Bu Tadi sering menciumi anak itu, sementara matanya melirikku dan tersenyum-senyum manis. Tetanggaku pada meledek Bu Tadi, mungkin waktu hamil Bu Tadi benci sekali sama aku. Karena anaknya yang cantik itu mempunyai mata, pipi, hidung, dan bibir yang persis seperti mata, pipi, hidung, dan bibirku.</p> <p>Seperti telah anda ketahui hubunganku dengan Bu Tadi istri tetanggaku yang cantik itu tetap berlanjut sampai kini, walaupun aku telah berumah tangga. Namun dalam perkimpoianku yang sudah berjalan dua tahun lebih, kami belum dikaruniai anak. Istriku tidak hamil-hamil juga walaupun penisku kutojoskan ke vagina istriku siang malam dengan penuh semangat. Kebetulan istriku juga mempunyai nafsu seks yang besar. Baru disentuh saja nafsunya sudah naik. Biasanya dia lalu melorotkan celana dalamnya, menyingkap pakaian serta mengangkangkan pahanya agar vaginanya yang tebal bulunya itu segera digarap. Di mana saja, di kursi tamu, di dapur, di kamar mandi, apalagi di tempat tidur, kalau sudah nafsu, ya aku masukkan saja penisku ke vaginanya. Istriku juga dengan penuh gairah menerima coblosanku. Aku sendiri terus terang setiap saat melihat istriku selalu nafsu saja deh. Memang istriku benar-benar membuat hidupku penuh semangat dan gairah.</p> <p>Tetapi karena istriku tidak hamil-hamil juga aku jadi agak kawatir. Kalau mandul, jelas aku tidak. Karena sudah terbukti Bu Tadi hamil, dan anakku yang cantik itu sekarang menjadi anak kesayangan keluarga Pak Tadi. Apakah istriku yang mandul? Kalau melihat fisik serta haidnya yang teratur, aku yakin istriku subur juga. Apakah aku kena hukuman karena aku selingkuh dengan Bu Tadi? aah, mosok. Nggak mungkin itu. Apakah karena dosa? Waah, mestinya ya memang dosa besar. Tapi karena menyetubuhi Bu Tadi itu enak dan nikmat, apalagi dia juga senang, maka hubungan gelap itu perlu diteruskan, dipelihara, dan dilestarikan.</p> <p>Untuk mengatur perselingkuhanku dengan Bu Tadi, kami sepakat dengan membuat kode khusus yang hanya diketahui kami berdua. Apabila Pak Tadi tidak ada di rumah dan benar-benar aman, Bu Tadi memadamkan lampu di sumur belakang rumahnya. Biasanya lampu 5 watt itu menyala sepanjang malam, namun kalau pada pukul 20.00 lampu itu padam, berarti keadaan aman dan aku dapat mengunjungi Bu Tadi. (Anda dapat meniru caraku yang sederhana ini. Gratis tanpa bayar pulsa telepon yang makin mahal). Karena dari samping rumahku dapat terlihat belakang rumah Bu Tadi, dengan mudah aku dapat menangkap tanda tersebut. Tetapi pernah tanda itu tidak ada sampai 1 atau 2 bulan, bahkan 3 bulan. Aku kadang-kadang jadi agak jengkel dan frustasi (karena kangen) dan aku mengira juga Bu Tadi sudah bosan denganku. Tetapi ternyata memang kesempatan itu benar-benar tidak ada, sehingga tidak aman untuk bertemu.</p> <p>Pada suatu hari aku berpapasan dengan Bu Tadi di jalan dan seperti biasanya kami saling menyapa baik-baik. Sebelum melanjutkan perjalanannya, dia berkata, “Dik Budi, besok malam minggu ada keperluan nggak?”<br />“Kayaknya sih nggak ada acara kemana-mana. Emangnya ada apa?” jawabku dengan penuh harapan karena sudah hampir satu bulan kami tidak bermesraan.<br />“Nanti ke rumah yaa!” katanya dengan tersenyum malu-malu.<br />“Emangnya Pak Tadi nggak ada?” kataku. Dia tidak menjawab, cuma tersenyum manis dan pergi meneruskan perjalanannya. Walaupun sudah biasa, darahku pun berdesir juga membayangkan pertemuanku malam minggu nanti.</p> <p>Seperti biasa malam minggu adalah giliran ronda malamku. Istriku sudah tahu itu, sehingga tidak menaruh curiga atau bertanya apa-apa kalau pergi keluar malam itu. Aku sudah bersiap untuk menemui Bu Tadi. Aku hanya memakai sarung, (tidak memakai celana dalam) dan kaos lengan panjang biar agak hangat. Dan memang kalau tidur aku tidak pernah pakai celana dalam tetapi hanya memakai sarung saja. Rasanya lebih rileks dan tidak sumpek, serta penisnya biar mendapat udara yang cukup setelah seharian dipepes dalam celana dalam yang ketat.</p> <p>Waktu menunjukkan pukul 22.00. Lampu belakang rumah Bu Tadi sudah padam dari tadi. Aku berjalan memutar dulu untuk melihat situasi apakah sudah benar-benar sepi dan aman. Setelah yakin aman, aku menuju ke samping rumah Bu Tadi. Aku ketok kaca nako kamarnya. Tanpa menunggu jawaban, aku langsung menuju ke pintu belakang. Tidak berapa lama terdengar kunci dibuka. Pelan pintu terbuka dan aku masuk ke dalam. Pintu ditutup kembali. Aku berjalan beriringan mengikuti Bu Tadi masuk ke kamar tidurnya. Setelah pintu ditutup kembali, kami langsung berpelukan dan berciuman untuk menyalurkan kerinduan kami. Kami sangat menikmati kemesraan itu, karena memang sudah hampir satu bulan kami tidak mempunyai kesempatan untuk melakukannya. Setelah itu, Bu Tadi mendorongku, tangannya di pinggangku, dan tanganku berada di pundaknya. Kami berpandangan mesra, Bu tadi tersenyum manis dan memelukku kembali erat-erat. Kepalanya disandarkan di dadaku.</p> <p>“Paa, sudah lama kita nggak begini”, katanya lirih. Bu Tadi sekarang kalau sedang bermesraan atau bersetubuh memanggilku Papa. Demikian juga aku selalu membisikkan dan menyebutnya Mama kepadanya. Nampaknya Bu Tadi menghayati betul bahwa Nia, anaknya yang cantik itu bikinan kami berdua.<br />“Pak Tadi sedang kemana sih maa”, tanyaku.<br />“Sedang mengikuti piknik karyawan ke Pangandaran. Aku sengaja nggak ikut dan hanya Nia saja yang ikut. Tenang saja, pulangnya baru besok sore”, katanya sambil terus mendekapku.<br />“Maa, aku mau ngomong nih”, kataku sambil duduk bersanding di tempat tidur. Bu Tadi diam saja dan memandangku penuh tanda tanya.<br />“Maa, sudah dua tahun lebih aku berumah tangga, tetapi istriku belum hamil-hamil juga. Kamu tahu, mustinya secara fisik, kami tidak ada masalah. Aku jelas bisa bikin anak, buktinya sudah ada kan. Aku nggak tahu kenapa kok belum jadi juga. Padahal bikinnya tidak pernah berhenti, siang malam”, kataku agak melucu. Bu Tadi memandangku.<br />“Pa, aku harus berbuat apa untuk membantumu. Kalau aku hamil lagi, aku yakin suamiku tidak akan mengijinkan adiknya Nia kamu minta menjadi anak angkatmu. Toh anak kami kan baru dua orang nantinya, dan pasti suamiku akan sayang sekali. Untukku sih memang seharusnya bapaknya sendiri yang mengurusnya. Tidak seperti sekarang, keenakan dia. Cuma bikin doang, giliran sudah jadi bocah orang lain dong yang ngurus”, katanya sambil merenggut manja. Aku tersenyum kecut.<br />“Jangan-jangan ini hukuman buatku ya maa, Aku dihukum tidak punya anak sendiri. Biar tahu rasa”, kataku.<br />“Ya sabar dulu deh paa, mungkin belum pas saja. Spermamu belum pas ketemu sama telornya Rina (nama istriku). Siapa tahu bulan depan berhasil”, katanya menghiburku.<br />“Ya mudah-mudahan. Tolong didoain yaa…”<br />“Enak saja. Didoain? Mustinya aku kan nggak rela Papa menyetubuhi Rina istrimu itu. Mustinya Papa kan punyaku sendiri, aku monopoli. Nggak boleh punya Papa masuk ke perempuan lain kan. Kok malah minta didoain. Gimana siih”, katanya manja dan sambil memelukku erat-erat. Benar juga, mestinya kami ini jadi suami-istri, dan Nia itu anak kami.<br />“Maa, kalau kita ngomong-ngomong seperti ini, jadinya nafsunya malah jadi menurun lho. Jangan-jangan nggak jadi main nih”, kataku menggoda.<br />“Iiih, dasar”, katanya sambil mencubit pahaku kuat-kuat.<br />“Makanya jangan ngomong saja. Segera saja Mama ini diperlakukan sebagaimana mestinya. Segera digarap doong!” katanya manja.</p> <p>Kami berpelukan dan berciuman lagi. Tentu saja kami tidak puas hanya berciuman dan berpelukan saja. Kutidurkan dia di tempat tidur, kutelentangkan. Bu Tadi mandah saja. Pasrah saja mau diapain. Dia memakai daster dengan kancing yang berderet dari atas ke bawah. Kubuka kancing dasternya satu per satu mulai dari dada terus ke bawah. Kusibakkan ke kanan dan ke kiri bajunya yang sudah lepas kancingnya itu. Menyembullah buah dadanya yang putih menggunung (dia sudah tidak pakai BH). Celana dalam warna putih yang menutupi vaginanya yang nyempluk itu aku pelorotkan. Aku benar-benar menikmati keindahan tubuh istri gelapku ini. Saat satu kakinya ditekuk untuk melepaskan celana dalamnya, gerakan kakinya yang indah, vaginanya yang agak terbuka, aduh pemandangan itu sungguh indah. Benar-benar membuatku menelan ludah. Wajah yang ayu, buah dada yang putih menggunung, perut yang langsing, vagina yang nyempluk dan agak terbuka, kaki yang indah agak mengangkang, sungguh mempesona. Aku tidak tahan lagi. Aku lempar sarungku dan kaosku entah jatuh dimana. Aku segera naik di atas tubuh Bu Tadi. Kugumuli dia dengan penuh nafsu. Aku tidak peduli Bu Tadi megap-megap keberatan aku tindih sepenuhnya. Habis gemes banget, nafsu banget sih.<br />“Uugh jangan nekad tho. Berat nih”, keluh Bu Tadi.<br />Aku bertelekan pada telapak tanganku dan dengkulku. Penisku yang sudah tegang banget aku paskan ke vaginanya. Terampil tangan Bu Tadi memegangnya dan dituntunnya ke lubang vaginanya yang sudah basah. Tidak ada kesulitan lagi, masuklah semuanya ke dalam vaginanya. Dengan penuh semangat kukocok vagina Bu Tadi dengan penisku. Bu Tadi semakin naik, menggeliat dan merangkulku, melenguh dan merintih. Semakin lama semakin cepat, semakin naik, naik, naik ke puncak.<br />“Teruuus, teruus paa.. sshh… ssh…” bisik Bu Tadi<br />“Maa, aku juga sudah mau… keluaarr”,<br />“Yang dalam paa… yang dalamm. Keluarin di dalaam Paa… Paa… Adduuh Paa nikmat banget Paa…, ouuch..”, jeritnya lirih yang merangkulku kuat-kuat. Kutekan dalam-dalam penisku ke vaginanyanya. Croot, cruuut, crruut, keluarlah spermaku di dalam rahim istri gelapku ini. Napasku seperti terputus. Kenikmatan luar biasa menjalar kesuluruh tubuhku. Bu Tadi menggigit pundakku. Dia juga sudah mencapai puncak. Beberapa detik dia aku tindih dan dia merangkul kuat-kuat. Akhirnya rangkulannya terlepas. Kuangkat tubuhku. Penisku masih di dalam, aku gerakkan pelan-pelan, aduh geli dan ngilu sekali sampai tulang sumsum. Vaginanya licin sekali penuh spermaku. Kucabut penisku dan aku terguling di samping Bu Tadi. Bu Tadi miring menghadapku dan tangannya diletakkan di atas perutku. Dia berbisik, “Paa, Nia sudah cukup besar untuk punya adik. Mudah-mudahan kali ini langsung jadi ya paa. Aku ingin dia seorang laki-laki. Sebelum Papa tadi mengeluh Rina belum hamil, aku memang sudah berniat untuk membuatkan Nia seorang adik. Sekalian untuk test apakah Papa masih joos apa tidak. Kalau aku hamil lagi berarti Papa masih joosss. Kalau nanti pengin menggendong anak, ya gendong saja Nia sama adiknya yang baru saja dibuat ini.” Dia tersenyum manis. Aku diam saja. menerawang jauh, alangkah nikmatnya bisa menggendong anak-anakku.</p> Malam itu aku bersetubuh lagi. Sungguh penuh cinta kasih, penuh kemesraan. Kami tuntaskan kerinduan dan cinta kasih kami malam itu. Dan aku menunggu dengan harap-harap cemas, jadikah anakku yang kedua di rahim istri gelapku ini?Unknownnoreply@blogger.com0